Sabtu, 29 November 2008

Pemuda dan 8 Tahun Reformasi

Jauh sebelum Reformasi berlangsung, kehadiran pemuda dalam dunia perpolitikan, telah memberi warna tersendiri. Sebelum kemerdekaan Indonesia, yang menjadi tokoh-tokoh sentral dalam melakukan perlawanan terhadap Imprialis, baik itu Belanda, maupun Jepang, adalah para pemuda. Sebutlah Dr Sutomo dan Dr Wahidin Sudirohusodo, yang menggagas perkumpulan Budi Oetomo. Kemudian ada HOS Tjoktoaminoto, lalu KH Mas Manshur dan lain-lain.

Mereka adalah para pioner ulung, konseptor pergerakan sebelum kemerdekaan. Dalam perjalannya, bangsa Indonesia setidak-tidaknya “berhutang” kepada para pemuda. Lihatlah, betapa banyak pahlawan-pahwalan bangsa ini, yang gugur dalam usia muda. Lihatlah bagaimana para Pemuda membujuk lalu “menculik” generasi tua, Soekarna-Hatta, untuk segera memproklamasikan Indonesia dari penjajah Jepang (peristiwa Rengas Dengklok). Lihatlah, bagaimana para pemuda mewakili Indonesia dalam melakukan perjanjian-perjanjian dengan Belanda, agar eksistensi Indonesia sebagai Negara merdeka dan berdaulat, diakui.

Tidak hanya itu saja, ketika pemerintahan baru dibentuk dan berjalan, betapa banyak pemuda yang dijadikan birokrat. Kemudian ketika Indonesia bergolak karena G 30/S-PKI, siapa yang paling banyak peran dan kontribusinya dalam memulihkan keadaan, ialah pemuda. Bahkan ketika Reformasi terjadi, siapapun mengetahui, bahwa aktor di balik itu semua adalah pemuda. Pemuda yang mempunyai semagat nasionalisme, pemuda yang mempunyai semagat untuk melakukan perubahan. Singkatnya, pemuda adalah Anashirut Taghyir, Agent of change

Potret Pemuda Saat Ini

Membangun jiwa kepeloporan pemuda tidak dapat dilakukan dalam sekejap. Karena bukan sebuah sulap, sambil mengucap sim salabim, maka ada. Apalagi jika kondisi pemuda yang sedang sakit kronis seperti sekarang, karena tidak kunjung diobati. Perlu sebuah terapi khusus untuk mengobatinya. Sadar atau tidak hari ini, banyak pemuda kita, yang telah dirasuki penyakit nonmedis, yang penyembuhannya hanya bisa melalui pendekatan Islami.

Penyakit itu berupa, virus-virus demoralisasi yang mematikan hati, fisik dan akal. Sehingga berdampak pada pandangan hidupnya. Main stream hidup para pemuda yang terjangkiti penyakit itu adalah: happy. Asal meraka senang, maka apapun bisa dilakukan tanpa melihat apakah yang dilakukan boleh sesuai syariat, atau tidak. Selain wabah demoralisasi di atas, remaja kita kini, juga menghadapi persoalan yang tak kalah penting, yaitu Rendahnya kualitas pendidikan yang diterima. Dalam kerangka persaingan SDM, ini menjadi persoalan tersendiri, yang harus dihadapi dan dipecahkan bersama, dalam hal ini pemerintah.

Bangsa kita mau tidak mau harus meningkatkan kualitas pendidikan yang jauh tertinggal dibanding tetangga kita, Malaysia, yang dahulu lebih banyak belajar dari Indonesia mengenai sistem Pendidikan, tapi sekarang Indonesia-lah yang banyak meng-ekspor pemuda ke negeri jiran itu, dalam rangka belajar. Sebab rendahnya pendidikan suatu bangsa, akan berimplikasi dalam kehidupan saat ini, yaitu Global, yang serba instant, dan canggih.

Kerusakan yang terjadi pada generasi muda, adalah sebuah isyarat, bagi kehancuran sebuah bangsa. Bagaimana tidak, pemuda hari ini, adalah orang tua yang akan datang. Bagaimana mungkin suatu bangsa bisa berjaya, jika generasi mudanya tak punya jati diri.

Hari ini, kekhawatiran akan masa depan pemuda, bukan hanya monopoli negara-negara berkembang, seperti Indonesia, melainkan juga kekhawatiran negara-negara yang mengklaim sebagai negara maju. Bahkan di negara maju, persoalan ini dianggap sebagai persoalan yang serius. Mereka khawatir prediksi tentang bayang-bayang kemunduran, bahkan kepunahan suatu bangsa, ada di depan mata. Bahkan Jhon Kennedy, Negarawan Amerika mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kerusakan moral generasi muda Amerika, “Andai mereka disuruh perang, hanya ada satu dari tujuh pemuda yang berani menghadapi musuh” (Widiantoro, Nugroho, Panduan Dakwah Sekolah, Syaamil, 2005).

Bagaimana tidak? Apa artinya kemajuan ekonomi yang dicapai, kecanggihan teknologi yang dibanggakan, kepemimpinan dunia yang ada digengamannya, jika suatu saat nanti tidak ada yang menuruskan kemajuan, kecanggihan dan kepemimpinan itu, karena, para pemuda dihinggapi penyakit rusaknya moral, dan rendahnya pendidikan .

Masalah Pemuda dan Pemerintah

Dalam sebuah hadits, Rasulullah mengatakan, “Allah SWT, Tidak akan menurunkan suatu penyakit melainkan ada obatnya, kecuali penyakit tua” (HR Bukhori) pesan yang disampaikan hadits tersebut telah jelas. Sekarang bagaimana strategi kita dalam menyelesaikan sebuah permasalahan yang cukup pelik itu. Apakah penyelesaian yang ditawarkan hanya lips service saja, hanya seremonial tanpa menyentuh substansi persoalan yang sebenarnya. Ataukah penyelesaian yang ditawarkan hanya sebatas menyetuh kulit persoalan saja. Yang jelas, ke kompleks-an masalah yang dialami pemuda sekarang, merupakan cermin dari ketidak mampuan pemerintah dalam membagun sistem pendidikan yang memadahi.

Kenapa sistem pendidikan? Secara hirarki, Departemen Pendidikanlah yang bertanggung jawab atas keberlangsungan Pendidikan Indonesia, yang tujuannya menyediakan suplai manusia-manusia unggul dan produktif. Akan tetapi, karena sistem yang ada pada Departemen Pendidikan, sangat kacau, tidak pernah permanen. Setiap ganti menteri, kebijakan selalu berubah. Ini adalah sebuah penyakit! Logikanya, siapapun yang membuat sistem, yang tujuannya untuk menyelesaikan sebuah persoalan, namun jika sistem yang dibuat, dipakai, tidak memperhatikan anatomi permasalah yang mendasar, bisa dipastikan, sistem tersebut hanya akan menambah persoalan. Itulah yang terjadi pada Departemen Pendidikan Nasional kita saat ini. Salah satu contohnya aturan kelulusan yang disyaratkan Departemen Pendidikan adalah rata-rata nilainya, 4,26. Penulis berpandangan, bahwa apa yang menjadi syarat kelulusan merupakan sesuatu yang aneh. Serendah itukah, nilai sebuah intelektualitas? Kelulusan hanya dinilai dengan angka. Lumayanlah, jika memang nilai itu murni hasil kerja sendiri, namun jika nilai yang didapatkan dengan cara menukar sejumlah uang, bagaimana? Padahal masih ada instrument lain yang bisa dijadikan oleh Departemen Pendidikan dalam menentukan lulus tidaknya seseorang misalnya: melihat akhlaq yang bersangkutan, apakah baik atau tidak. Misalnya, dengan melihat bagaimana bacaan Qur’an yang bersangkutan, jika dia seorang muslimin atau muslimah, sesuai dengan hukum-hukum tajwid atau tidak. Mengapa Departemen Pendidikan hanya mementingkan “nilai” dunia, yang bisa diperjual-belikan, bisa dikatrol, dan tidak coba melakukan trobosan dengan sesuatu yang baru, seperti contoh di atas.

Padahal penulis yakin keberadaan Departemen Pendidikan mempuyai tujuan yang mulia. Akan tetapi apa jadinya, jika ada ada lulusan yang sangat cerdas, akan tetapi akhlaqya tidak baik, bisa saja, dengan kecerdasaanya di melakukan hal-hal yang terlarang, korupsi misalnya. Disitilah sebenarnya peran dari akhlaqul karimah. Sebagai filter bagi manusia dalam melakukan muamalah. Perlu diingat, persoalan yang dihadapi pemuda, saat ini, berawal dari merosotnya akhlak! Adalah suatu hal yang aneh jika akhlaq tidak dijadikan sebagai salah satu syarat kelulusan seseorang. Padahal akhlaq merupakan barometer dalam hidup. Baiknya akhlaq seseorang akan membuat orang lain menjadi damai, begitu pula, jika akhlaq seseorang itu buruk, maka itu ancaman bagi orang lain. Bukankan Rasulullah SWT, ketika diutus, pertama-tama yang diperbaiki adalah akhlaq. “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq” (HR Bukhori) Itulah mengapa persolan pemuda, pelajar, tidak selesai-selesai hingga detik ini. Sebab tidak ada contoh konkrit yang diberikan oleh generasi sebelumnya, dalam menyempurnakan akhlaq. Yang ada hanya perintah, dan perintah. Tak ada keteladanan yang bisa dijadikan I’tibar. Para pemuda tidak bisa mengambil hikmah dari generasi sebelumnya.

Bagaimana perasan anda melihat peran generasi muda sebelum kita? Kawan, apa yang terlintas dibenak anda, ketika mendengar, menyaksikan, Mereka pemuda sebelum kita menjadi pelaku sejarah. Teman tidak inginkah nama anda diabadikan, karena pengabdian dan pengoraban yang kita lakukan untuk kebaikan?

Lalu apa pula yang ada dibenak anda ketika pemuda itu adalah bagian dari keluarga anda? Narkoba, sex bebas telah menjadi bagian hidupnya na’udzu billah. Apa yang akan anda perbuat melihat kemerosotan moral melanda anak bangsa ini? Akankah masa depan bangsa Indonesia menjadi “buram” karena potret generasi mudanya hampir sama dengan buramnya cermin, yang karena tak pernah dibersihkan.

Sungguh kepedulian dan dukungan anda untuk memperbaiki generasi, merupakan upaya yang nilainya tidak dapat di setarakan dengan Rupiah, bahkan Dollar sekalipun! Karenanya sebagai orang-orang yang paham akan uregensi membina generasi, mari kita mulai dari sekarang. Kebuntuan ini bukan berarti kita tidak bisa melakukan sesuatu. Ada kerja besar yang harus dilakukan untuk membangun sebuah peradaban baru di masa depan. Yang dimulai dengan melahirkan generasi baru yang sama sekali berbeda, yang lebih bertaqwa kepada Allah SWT.

Sebuah generasi yang akan sanggup menjawab tantangan zaman, yang penuh fitnah dan kemaksiatan ini. Suatu zaman yang dapat disebut sebagai The darkest ages of Islamic History (Ihsan Tandjung, 2004) sebuah generasi yang tidak hanya diharapkan kehadiran dan perannya oleh umat Islam, namun seluruh umat manusia.

Bagaimana caranya? Tentunya dengan memperkenalkan nilai-nilai ke-Islaman yang Biasa dilakukan dengan metode mentoring-mentoring keagamaan, yang saat ini menjadi tren di sekolah-sekolah, maupun kampus-kampus, di kota-kota besar, di Indonesia, misalnya, Jakarta, Bandung, Bogor, dan lainnya yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga yang konsen terhadap pembinaan intlektualitas dan ruhani. Misalnya IQRO club, yang sudah mempunyai cabang di hampir seluruh Indonesia, bahkan di Banjarbaru. Khusus di Banjarbaru, IQRO Club, sudah melakukan kegiatan pertamanya pada bulan April lalu, yaitu ESQ untuk pelajar yang mendapat apresiasi yang baik sekali dari pihak sekolah, peserta maupun orang tua peserta.

Tujuannya tak lain dan tak bukan, adalah menyebarkan nilai-nilai kebaikan. Dengan diadakannya training-trainging keagamaan, mentoring-mentoring, diharapkan, para pemuda minimal dapat terbuka wawasannya, ternyata dalam mempelajari Islam, bukan hanya sholat, puasa, zakat, dan haji saja yang dipelajari. Tapi lebih luas dari itu. Sehingga pemahaman keislaman para pemuda khususnya pelajar dapat bertambah, sehingga mereka dapat membumikan Islam dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus menggurui yang lain.

Dari mentoring-mentoring, dan training-training keagamaan itulah diharapkan perkembangan antara intlektualitas dan pemahaman agama dapat seiring sejalan, sesuai dengan output yang kita harapkan bersama, menjadi generasi Robbani. Maka akhirnya kita berharap kepada Allah SWT, semoga niat-niat baik kita untuk memperbaiki generasi muda dimudahkan. Dan adalah kewajiban kita semua, baik orang tua, guru, kepala sekolah, tokoh masyarakat, maupun anda, teman!, untuk menyambut dan mendukung program pembinaan generasi. Jangan sampai generasi ini, menjadi bulan-bulanan sebuah “umpan” yang berasal dari Godles Civilization, ketahuilah bahwasanya, umpan itu merupakan sebuah sinyal, tanda kehancuran sebuah bangsa, tinggal menunggu waktu saja. Kalau begitu, wahai orangtua, guru, kepala sekolah, tokoh masyarakat, ulama, dan anda kawan!, kapan siap melakukan perbaikan itu? Wallahu’alam.***

Tidak ada komentar: