Sabtu, 29 November 2008

KETIKA MAHASISWA DIABAIKAN
KETIKA PRAGMATISME MELANDA MAHASISWA
IDEALISME PUN TERJUAL
STAGNASI TUMBUH SUBUR
DAN
MAHASISWA HANYA DIAM MENGAMATI
SUDAH SAATNYA AYO BANGKIT
KITA ADALAH KAUM MUDA
KITA ADALAH IDEALIS
PILIH PEMIMPINMU
KAUM MUDA ADA DIHADAPANMU
SEKARANGLAH KAU MEMILIH
ATAU ESOK KAU AKAN MERINTIH
YANG MUDA SIAP MEMIMPIN

Kembali Ke PANCASILA

YUNIAR KUSTANTO MELAWAN STAGNASI.
Pancasila sebagai nilai luhur bangsa semakin usang ditengah kehidupan mahasiswa. Nilai-nilai yang terkandung didalamnya yang merupakan jati diri bangsa hanya tinggal nilai-nilai semu dalam laporan akademik dan hilang dalam sudut-sudut kehidupan mahasiswa. Sejak Sekolah Dasar nilai tersebut hanya sebagai data di otak, nge hank di hati dan akhirnya dalam not responding dalam aplikasinya. Penyebabnya adalah faham liberalisme yang mengatasnamakan modernisasi masuk dalam kehidupan mahasiswa dan membentuk polapikir dan tingkah lakunya. Mahasiswa dikatakan ketinggalan jaman kalau memperjuangkan nilai-nilai untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, dikatakan sok paling beradablah, paling bermoral. Maka kau akan terasing jika mengaplikasikan Ketuhanan yang Maha Esa dalam masyarakat yang menuhankan hak, akal, pasar, dan lainnya.

Pancasila mengajarkan kita bahwa hidup kita hidup berbangsa-bangsa, bersuku-suku, berbagai agama, berbagai adat. Masing-masing mepunyai rasa cinta dan rasa kehormatan. Hal ini menjadi sumber tenaga untuk mempertahankan peri kehidupan berbangsa, bersuku, beragama, dan itu semua merupakan dorongan untuk mencapai kejayaan masing-masing. Orang Irian ingin sukunya maju dan makmur seperti orang Jawa ingin makmur. Orang Islampun ingin penganutnya memahami dan mengaplikasikan ajaran Islam seperti orang Budha menganut dan mengaplikasikannya. Setiap golongan punya keinginan yang sama.

Maka persoalannya apakah hal itu dibiarkan berkobar dan menjadi sumber pertarungan bebas antar hak selayaknya hutan belantara yang liberal tidak ada aturan atau rasa cinta dan kehormatan tersebut dihilangkan untuk sumuanya kemudian diatur sama rasa sama rata tanpa ada hak pribadi.Liberalis atau Sosialis? Atau kita kembali pada nilai-nilai Pancasila?

Saat ini mahasiswa butuh bersatu demi menyelamatkan bangsa seakan pertama berjumpa awal semester saat belum ada doktrin perpecahan menodai. Perbedaan akan menjadi sebuah keniscayaan. Tak pantaslah senior mendoktrin kebencian hingga kelompok-kelompok saling memusuhi bukan saling mengenal.

Kita harus kembali pada persatuan Indonesia.Kepada nilai KeTuhanan Yang Maha Esa, Kepada keadilan sosial bukan kelompok, Kerakyatan yang dipimpin hikmat bukan nafsu dan kepentinagn golongan dalam permusyawaratan perwakilan. Stop Sekularlisme, Liberalisme dan doktrin kebencian dari senior di kampus. Mari kembali pada nilai-nilai PANCASILA.




Pemuda dan 8 Tahun Reformasi

Jauh sebelum Reformasi berlangsung, kehadiran pemuda dalam dunia perpolitikan, telah memberi warna tersendiri. Sebelum kemerdekaan Indonesia, yang menjadi tokoh-tokoh sentral dalam melakukan perlawanan terhadap Imprialis, baik itu Belanda, maupun Jepang, adalah para pemuda. Sebutlah Dr Sutomo dan Dr Wahidin Sudirohusodo, yang menggagas perkumpulan Budi Oetomo. Kemudian ada HOS Tjoktoaminoto, lalu KH Mas Manshur dan lain-lain.

Mereka adalah para pioner ulung, konseptor pergerakan sebelum kemerdekaan. Dalam perjalannya, bangsa Indonesia setidak-tidaknya “berhutang” kepada para pemuda. Lihatlah, betapa banyak pahlawan-pahwalan bangsa ini, yang gugur dalam usia muda. Lihatlah bagaimana para Pemuda membujuk lalu “menculik” generasi tua, Soekarna-Hatta, untuk segera memproklamasikan Indonesia dari penjajah Jepang (peristiwa Rengas Dengklok). Lihatlah, bagaimana para pemuda mewakili Indonesia dalam melakukan perjanjian-perjanjian dengan Belanda, agar eksistensi Indonesia sebagai Negara merdeka dan berdaulat, diakui.

Tidak hanya itu saja, ketika pemerintahan baru dibentuk dan berjalan, betapa banyak pemuda yang dijadikan birokrat. Kemudian ketika Indonesia bergolak karena G 30/S-PKI, siapa yang paling banyak peran dan kontribusinya dalam memulihkan keadaan, ialah pemuda. Bahkan ketika Reformasi terjadi, siapapun mengetahui, bahwa aktor di balik itu semua adalah pemuda. Pemuda yang mempunyai semagat nasionalisme, pemuda yang mempunyai semagat untuk melakukan perubahan. Singkatnya, pemuda adalah Anashirut Taghyir, Agent of change

Potret Pemuda Saat Ini

Membangun jiwa kepeloporan pemuda tidak dapat dilakukan dalam sekejap. Karena bukan sebuah sulap, sambil mengucap sim salabim, maka ada. Apalagi jika kondisi pemuda yang sedang sakit kronis seperti sekarang, karena tidak kunjung diobati. Perlu sebuah terapi khusus untuk mengobatinya. Sadar atau tidak hari ini, banyak pemuda kita, yang telah dirasuki penyakit nonmedis, yang penyembuhannya hanya bisa melalui pendekatan Islami.

Penyakit itu berupa, virus-virus demoralisasi yang mematikan hati, fisik dan akal. Sehingga berdampak pada pandangan hidupnya. Main stream hidup para pemuda yang terjangkiti penyakit itu adalah: happy. Asal meraka senang, maka apapun bisa dilakukan tanpa melihat apakah yang dilakukan boleh sesuai syariat, atau tidak. Selain wabah demoralisasi di atas, remaja kita kini, juga menghadapi persoalan yang tak kalah penting, yaitu Rendahnya kualitas pendidikan yang diterima. Dalam kerangka persaingan SDM, ini menjadi persoalan tersendiri, yang harus dihadapi dan dipecahkan bersama, dalam hal ini pemerintah.

Bangsa kita mau tidak mau harus meningkatkan kualitas pendidikan yang jauh tertinggal dibanding tetangga kita, Malaysia, yang dahulu lebih banyak belajar dari Indonesia mengenai sistem Pendidikan, tapi sekarang Indonesia-lah yang banyak meng-ekspor pemuda ke negeri jiran itu, dalam rangka belajar. Sebab rendahnya pendidikan suatu bangsa, akan berimplikasi dalam kehidupan saat ini, yaitu Global, yang serba instant, dan canggih.

Kerusakan yang terjadi pada generasi muda, adalah sebuah isyarat, bagi kehancuran sebuah bangsa. Bagaimana tidak, pemuda hari ini, adalah orang tua yang akan datang. Bagaimana mungkin suatu bangsa bisa berjaya, jika generasi mudanya tak punya jati diri.

Hari ini, kekhawatiran akan masa depan pemuda, bukan hanya monopoli negara-negara berkembang, seperti Indonesia, melainkan juga kekhawatiran negara-negara yang mengklaim sebagai negara maju. Bahkan di negara maju, persoalan ini dianggap sebagai persoalan yang serius. Mereka khawatir prediksi tentang bayang-bayang kemunduran, bahkan kepunahan suatu bangsa, ada di depan mata. Bahkan Jhon Kennedy, Negarawan Amerika mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kerusakan moral generasi muda Amerika, “Andai mereka disuruh perang, hanya ada satu dari tujuh pemuda yang berani menghadapi musuh” (Widiantoro, Nugroho, Panduan Dakwah Sekolah, Syaamil, 2005).

Bagaimana tidak? Apa artinya kemajuan ekonomi yang dicapai, kecanggihan teknologi yang dibanggakan, kepemimpinan dunia yang ada digengamannya, jika suatu saat nanti tidak ada yang menuruskan kemajuan, kecanggihan dan kepemimpinan itu, karena, para pemuda dihinggapi penyakit rusaknya moral, dan rendahnya pendidikan .

Masalah Pemuda dan Pemerintah

Dalam sebuah hadits, Rasulullah mengatakan, “Allah SWT, Tidak akan menurunkan suatu penyakit melainkan ada obatnya, kecuali penyakit tua” (HR Bukhori) pesan yang disampaikan hadits tersebut telah jelas. Sekarang bagaimana strategi kita dalam menyelesaikan sebuah permasalahan yang cukup pelik itu. Apakah penyelesaian yang ditawarkan hanya lips service saja, hanya seremonial tanpa menyentuh substansi persoalan yang sebenarnya. Ataukah penyelesaian yang ditawarkan hanya sebatas menyetuh kulit persoalan saja. Yang jelas, ke kompleks-an masalah yang dialami pemuda sekarang, merupakan cermin dari ketidak mampuan pemerintah dalam membagun sistem pendidikan yang memadahi.

Kenapa sistem pendidikan? Secara hirarki, Departemen Pendidikanlah yang bertanggung jawab atas keberlangsungan Pendidikan Indonesia, yang tujuannya menyediakan suplai manusia-manusia unggul dan produktif. Akan tetapi, karena sistem yang ada pada Departemen Pendidikan, sangat kacau, tidak pernah permanen. Setiap ganti menteri, kebijakan selalu berubah. Ini adalah sebuah penyakit! Logikanya, siapapun yang membuat sistem, yang tujuannya untuk menyelesaikan sebuah persoalan, namun jika sistem yang dibuat, dipakai, tidak memperhatikan anatomi permasalah yang mendasar, bisa dipastikan, sistem tersebut hanya akan menambah persoalan. Itulah yang terjadi pada Departemen Pendidikan Nasional kita saat ini. Salah satu contohnya aturan kelulusan yang disyaratkan Departemen Pendidikan adalah rata-rata nilainya, 4,26. Penulis berpandangan, bahwa apa yang menjadi syarat kelulusan merupakan sesuatu yang aneh. Serendah itukah, nilai sebuah intelektualitas? Kelulusan hanya dinilai dengan angka. Lumayanlah, jika memang nilai itu murni hasil kerja sendiri, namun jika nilai yang didapatkan dengan cara menukar sejumlah uang, bagaimana? Padahal masih ada instrument lain yang bisa dijadikan oleh Departemen Pendidikan dalam menentukan lulus tidaknya seseorang misalnya: melihat akhlaq yang bersangkutan, apakah baik atau tidak. Misalnya, dengan melihat bagaimana bacaan Qur’an yang bersangkutan, jika dia seorang muslimin atau muslimah, sesuai dengan hukum-hukum tajwid atau tidak. Mengapa Departemen Pendidikan hanya mementingkan “nilai” dunia, yang bisa diperjual-belikan, bisa dikatrol, dan tidak coba melakukan trobosan dengan sesuatu yang baru, seperti contoh di atas.

Padahal penulis yakin keberadaan Departemen Pendidikan mempuyai tujuan yang mulia. Akan tetapi apa jadinya, jika ada ada lulusan yang sangat cerdas, akan tetapi akhlaqya tidak baik, bisa saja, dengan kecerdasaanya di melakukan hal-hal yang terlarang, korupsi misalnya. Disitilah sebenarnya peran dari akhlaqul karimah. Sebagai filter bagi manusia dalam melakukan muamalah. Perlu diingat, persoalan yang dihadapi pemuda, saat ini, berawal dari merosotnya akhlak! Adalah suatu hal yang aneh jika akhlaq tidak dijadikan sebagai salah satu syarat kelulusan seseorang. Padahal akhlaq merupakan barometer dalam hidup. Baiknya akhlaq seseorang akan membuat orang lain menjadi damai, begitu pula, jika akhlaq seseorang itu buruk, maka itu ancaman bagi orang lain. Bukankan Rasulullah SWT, ketika diutus, pertama-tama yang diperbaiki adalah akhlaq. “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq” (HR Bukhori) Itulah mengapa persolan pemuda, pelajar, tidak selesai-selesai hingga detik ini. Sebab tidak ada contoh konkrit yang diberikan oleh generasi sebelumnya, dalam menyempurnakan akhlaq. Yang ada hanya perintah, dan perintah. Tak ada keteladanan yang bisa dijadikan I’tibar. Para pemuda tidak bisa mengambil hikmah dari generasi sebelumnya.

Bagaimana perasan anda melihat peran generasi muda sebelum kita? Kawan, apa yang terlintas dibenak anda, ketika mendengar, menyaksikan, Mereka pemuda sebelum kita menjadi pelaku sejarah. Teman tidak inginkah nama anda diabadikan, karena pengabdian dan pengoraban yang kita lakukan untuk kebaikan?

Lalu apa pula yang ada dibenak anda ketika pemuda itu adalah bagian dari keluarga anda? Narkoba, sex bebas telah menjadi bagian hidupnya na’udzu billah. Apa yang akan anda perbuat melihat kemerosotan moral melanda anak bangsa ini? Akankah masa depan bangsa Indonesia menjadi “buram” karena potret generasi mudanya hampir sama dengan buramnya cermin, yang karena tak pernah dibersihkan.

Sungguh kepedulian dan dukungan anda untuk memperbaiki generasi, merupakan upaya yang nilainya tidak dapat di setarakan dengan Rupiah, bahkan Dollar sekalipun! Karenanya sebagai orang-orang yang paham akan uregensi membina generasi, mari kita mulai dari sekarang. Kebuntuan ini bukan berarti kita tidak bisa melakukan sesuatu. Ada kerja besar yang harus dilakukan untuk membangun sebuah peradaban baru di masa depan. Yang dimulai dengan melahirkan generasi baru yang sama sekali berbeda, yang lebih bertaqwa kepada Allah SWT.

Sebuah generasi yang akan sanggup menjawab tantangan zaman, yang penuh fitnah dan kemaksiatan ini. Suatu zaman yang dapat disebut sebagai The darkest ages of Islamic History (Ihsan Tandjung, 2004) sebuah generasi yang tidak hanya diharapkan kehadiran dan perannya oleh umat Islam, namun seluruh umat manusia.

Bagaimana caranya? Tentunya dengan memperkenalkan nilai-nilai ke-Islaman yang Biasa dilakukan dengan metode mentoring-mentoring keagamaan, yang saat ini menjadi tren di sekolah-sekolah, maupun kampus-kampus, di kota-kota besar, di Indonesia, misalnya, Jakarta, Bandung, Bogor, dan lainnya yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga yang konsen terhadap pembinaan intlektualitas dan ruhani. Misalnya IQRO club, yang sudah mempunyai cabang di hampir seluruh Indonesia, bahkan di Banjarbaru. Khusus di Banjarbaru, IQRO Club, sudah melakukan kegiatan pertamanya pada bulan April lalu, yaitu ESQ untuk pelajar yang mendapat apresiasi yang baik sekali dari pihak sekolah, peserta maupun orang tua peserta.

Tujuannya tak lain dan tak bukan, adalah menyebarkan nilai-nilai kebaikan. Dengan diadakannya training-trainging keagamaan, mentoring-mentoring, diharapkan, para pemuda minimal dapat terbuka wawasannya, ternyata dalam mempelajari Islam, bukan hanya sholat, puasa, zakat, dan haji saja yang dipelajari. Tapi lebih luas dari itu. Sehingga pemahaman keislaman para pemuda khususnya pelajar dapat bertambah, sehingga mereka dapat membumikan Islam dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus menggurui yang lain.

Dari mentoring-mentoring, dan training-training keagamaan itulah diharapkan perkembangan antara intlektualitas dan pemahaman agama dapat seiring sejalan, sesuai dengan output yang kita harapkan bersama, menjadi generasi Robbani. Maka akhirnya kita berharap kepada Allah SWT, semoga niat-niat baik kita untuk memperbaiki generasi muda dimudahkan. Dan adalah kewajiban kita semua, baik orang tua, guru, kepala sekolah, tokoh masyarakat, maupun anda, teman!, untuk menyambut dan mendukung program pembinaan generasi. Jangan sampai generasi ini, menjadi bulan-bulanan sebuah “umpan” yang berasal dari Godles Civilization, ketahuilah bahwasanya, umpan itu merupakan sebuah sinyal, tanda kehancuran sebuah bangsa, tinggal menunggu waktu saja. Kalau begitu, wahai orangtua, guru, kepala sekolah, tokoh masyarakat, ulama, dan anda kawan!, kapan siap melakukan perbaikan itu? Wallahu’alam.***

Pemuda dan Perubahan

Pemuda memegang peranan penting dalam hampir setiap perjuangan meraih cita-cita. Dalam sejarah da’wah Islam, pemuda memegang peranan yang sangat penting. Para Nabi dan Rosul diutus Allah untuk menyampaikan ajaran agama terpilih dari kalangan pemuda yang rata-rata berusia sekitar empat puluh tahunan..

Dalam alQuran terdapat banyak kisah keberanian pemuda. Ada pemuda Ashabul Kahfi, pemuda Musa, Yusuf dan sebagainya. Rosulullah Muhammad Saw ketika diangkat menjadi rosul ketika berumur empat puluh tahun. Pengikut beliau yang merupakan generasi pertama, kebanyakan juga dari kalangan pemuda bahkan ada yang masih anak2. Mereka dibina oleh rosulullah setiap hari di Daarul Arqam. Diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Awwam, yang paling muda ketika itu keduanya berumur 8 tahun, Thalhah bin Ubaidillah (11), al Arqam bin Abi al Arqam (12), Abdullah bin Mas’ud (14) yang kelak menjadi salah satu ahli tafsir terkemuka, Saad bin Abi Waqqash (17) yang kelak menjadi panglima perang yang menundukkan Persia, Jafar bin Abi Thalib (18), Zaid bin Haritsah (20), Utsman bin Affan (20), Mush’ab bin Umair (24), Umar bin Khatab (26), Abu Ubaidah Ibnul Jarah (27), Bilal bin Rabbah (30), Abu Salamah (30), Abu Bakar Ash Shidiq (37), Hamzah bin Abdul Muthalib (42), Ubaidah bin al Harits, yang paling tua diantara semua sahabat yang berusia 50 tahun..

Pemuda2 gagah berani yang hidupnya didedikasikan hanya untuk kejayaan Islam seperti inilah yang sanggup memikul beban da’wah dan bersedia berkorban serta menghadapi berbagai siksaan dengan penuh kesabaran. Mereka mendapatkan kebaikan, rahmat dan ampunan dari Allah. Mereka inilah yang disebut dengan orang muflih (beruntung)..

Bila kejayaan Islam masa lalu muncul karena da’wah Islam yang banyak ditopang oleh para pemuda Islam yang memiliki sikap perjuangan yang gigih, sanggup menyisihkan waktunya siang malam demi perjuangan Islam, maka demikian juga dengan masa depan Islam. Sunnatullah tidak berubah. Siapa yang unggul maka dialah yang memimpin. Umat Islam di masa lalu terutama para pemudanya unggul karena mereka memeluk Islam secara kaffah, lurus aqidahnya dan taat pada syariat. Bagaimana dengan pemuda Islam zaman sekarang?..

Pemuda Islam sekarang hidup di masa Jahiliyah. Disekitarnya berlangsung tatanan hidup yang tidak Islami yang disertai pula proses deislamisasi yang demikian deras melalui berbagai media. Hal ini menjadikan satu sisi mereka tetap muslim tapi di sisi lain pemikiran, perasaan dan tingkah lakunya – dalam cara berpakaian, bergaul, bermuamalah dll- telah banyak tercemari oleh pemikiran, perasaan dan tingkah laku yang tidak Islami yang berasal dari khasanah pemikiran non Islam..

Dulu Syafi’I muda telah hafal alQuran pada usia sekitar 7 tahun dan mulai diminta ijtihadnya pada usia kira-kira 14 tahun, sebelum akhirnya ia menjadi seorang mujtahid dan imam madzhab terkemuka. Kini kira-kira apa yang difikirkan dan dilakukan oleh remaja usia 7 hingga 18 dan pemuda usia 23 tahun?..

Jelaslah sudah bahwa untuk membangkitkan umat, diperlukan pemuda-pemuda yang mau bergerak secara ikhlas dan sungguh2 untuk meraih kembali kejayaan Islam. Pemuda yang dibutuhkan adalah para pemuda Islam sekualitas para sahabat yang memiliki tauhid yang lurus, keberanian menegakkan kebenaran serta memiliki ketaatan pada Islam tanpa reserve sebagaimana yang ditunjukkan oleh para sahabat Rosulullah Saw. Dengan dorongan peran pemuda inilah maka perjuangan penegakan kembali aturan Allah di muka bumi ini akan berlangsung dengan giat sehingga Islam kembali tegak..

Yakinlah pada diri kita bahwa kita mampu menjadi pribadi-pribadi muslim yang tangguh dan berpengaruh seperti Ali bin Abi Thalib, Imam Syafi’I dll. Insya Allah dengan izin Allah kita akan bisa menjadi seperti mereka asal kita mau serta diiringi dengan usaha yang sungguh2..

Pemuda Soko Guru Perubahan

Soekarno pernah berkata: “Berikan aku sepuluh pemuda, akan kuubah dunia”.
Sang visioner ini paham betul akan kekuatan yang mendarah daging dalam diri para pemuda. Pemuda adalah sokoguru perubahan. Hal yang sama juga diungkapkan Simon Frith, pemuda adalah salah satu strata kelas yang memiliki suatu identitas budaya tertentu dan merupakan satu model manusia unik dalam komunitas apapun sehingga ia terdeferensiasi (berbeda) dengan entitas lainnya, seperti anak kecil, dewasa hingga orangtua. Namun pemuda seperti apa yang kita harapkan di tengah kondisi bangsa Indonesia yang saat ini masih tidur lelap di atas akar rumput persoalan, seperti para pejabat yang suka mencuri harta rakyat, jaksa yang senang bermain mata dengan makelar suap, biaya pendidikan yang berpihak pada mereka yang berkantong tebal, ekonomi yang tidak pro rakyat, DPR yang tak lagi menjadi tempat rakyat mengadu nasib, reformasi yang tidak lagi menjadi bahasa bersama bagi perubahan yang diimpikan, dan yang jelas, mulut rakyat sudah tak bisa berbicara, karena sudah tak kuat bersuara. Mulut rakyat sudah berbusa, dan lidah pun sudah terkikis oleh asamnya keringat yang menjadi santapan makanan keseharian.
Di tengah kondisi carut marut ini, mestinya pemuda menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat (intelektual organic) dan menemui titik produktivnya sebagai insan yang bertanggung jawab atas kondisi sosial kemasyarakatan yang terjadi. Dengan kata lain, tugas pemuda adalah menjelaskan secara sistematis struktur penindasan yang sedang terjadi di masyarakat.
Sejarah mencatat, para pemuda pada zamannya telah banyak melakukan perubahan. Sebut saja pada tahun 1908, dengan gerakan pendidikannya, Budi Utomo telah menjadi tonggak awal sejarah pergerakan Indonesia menuju kemerdekaan. Berselang dua puluh tahun setelahnya, tepatnya 28 oktober tahun 1928, seluruh perkumpulan pemuda di nusantara berkumpul, guna mendeklarasikan persatuan nasional yang kemudian dikenal dengan Sumpah Pemuda. Puncaknya adalah ketika gemuruh revolusi 45 pecah dan melahirkan kemerdekaan bagi Ibu Pertiwi Indonesia. Pasca kemerdekaan bukan berarti istirahat dari tugas perjuangan. Para pemuda angkatan 1966 mendobrak tatanan lama dengan orde barunya. Bahkan, otorianisme rezim Soeharto yang telah bercokol selama 32 tahun pun berhasil ditumbangkan oleh pemuda Indonesia. Artinya, pemuda adalah aktor utama dalam sebuah film faktual yang berjudul: Pemuda sokoguru perubahan.
Akan tetapi, sejarah keemasan tersebut hanya menjadi rekam jejak yang tidak bermakna, ketika tidak disikapi secara kritis dan bijak. Agar jejak langkah perjuangan para pemuda dapat diestapetkan, dan spirit peringatan hari sumpah pemuda bisa menembus tapal pembatas setiap teritorial masing-masing daerah yang ada di NKRI ini, ada beberapa hal yang patut menjadi renungan, dan pada akhirnya bisa menjadi obrolan politik ditingkatan para pemuda yakni, pertama, menempatkan sejarah sebagai analisa (kontektualisasi) atas persoalan yang menimpa bangsa Indonesia saat ini, kedua memanfaatkan ilmu pengetahuan sebagai counter terhadap persoalan-persoalan normativ yang saat ini belum menjadi satu model produksi masyarakat, ketiga menjadikan ideologi sebagai senjata word view, alat dealiktika, keyakinan dan harapan akan perubahan di hari yang akan datang.

Selasa, 25 November 2008

Saatnya Kaum Muda memimpin

Himmatus syabab, hikmatus syukhuh*". Semangat pemuda dan kebijaksanaan
seorang tua. Demikian sebuah adagium Arab mengatakan. Itulah gambaran ideal
karakter seorang pemimpin. Ia bersemangat berapi-api seperti pemuda dan
bijaksana laksana orang tua. Tentang kebijaksanaan, Victor Frankl, pakar
psikologi kenamaan, mengatakan bahwa mereka yang mampu memaknai setiap
aktivitasnya dalam hidup memiliki kekuatan untuk bertahan hidup di dunia
yang fana ini.

Bersemangat dan bijaksana. Dua hal yang saling melengkapi dan tak jarang
menjadi kontroversi. Seperti wacana "presiden muda versus presiden tua" yang
disuarakan salah satu pimpinan parpol Islam yang bergayung sambut dengan
tantangan bersaing di panggung pemilihan presiden 2009 dari salah satu calon
presiden dari sebuah partai terbesar di Indonesia saat ini.

Pemuda, seperti yang asosiasi yang melekat padanya, mewakili sesuatu yang
baru, perubahan. Wacana serupa yang juga diusung Barack Obama, 47 tahun,
calon presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat yang bertema "*the
change we can believe in*". Perubahan dan memercayai perubahan, itulah
semangat muda yang diusung Obama yang juga didukung mayoritas kalangan muda
Amerika Serikat.

Yang unik, seperti adagium di atas, Obama yang merupakan kandidat presiden
keturunan Muslim dan kulit hitam pertama di negara adikuasa tersebut
menggandeng seorang politisi kawakan berusia 65 tahun – yang dianggap
berpengalaman dalam persoalan internasional – Joe Biden sebagai kandidat
wakil presiden. Di sisi lain, lawan Obama yang dianggap sebagai kalangan tua
– John McCain – yang merupakan kandidat presiden AS tertua sepanjang
sejarah, 72 tahun, juga menggaet Sarah Palin, seorang gubernur negara bagian
Alaska, berusia 44 tahun sebagai kandidat wakil presiden. Sepertinya mereka
percaya betul dengan adagium di atas. Lalu bagaimana dengan kita di
Indonesia?

*Muda versus tua?*

Wacana "presiden muda versus presiden tua" di Indonesia yang sempat hangat
bergulir di media massa, konon, melemah tuahnya seiring sedemikian banyaknya
*statement *perelatifan yang dilakukan kalangan politisi di Indonesia – yang
didominasi kalangan berusia 50-an tahun ke atas – yang gencar menyerukan
bahwa kualitas kepemimpinan tak memandang usia atau wacana tua-muda hanya
memecah belah bangsa. Sangat disesalkan wacana berharga yang sebetulnya bisa
menjadi gelindingan diskursus yang lebih serius dan formal mengenai peran
kepemimpinan pemuda dalam bangsa Indonesia ini layu sebelum berkembang.

Sebetulnya, berpijak dari wacana tersebut, kita sebagai anak bangsa dapat
merangkai dan mengurut secara historis rekam jejak kontribusi pemuda dalam
kepemimpinan bangsa ini. Setidaknya sejak Sumpah Pemuda tahun 1928, sebagai
titik tolak bersama. Selanjutnya, berdasarkan kajian historis dan tinjauan
kekinian tersebut niscaya ada input produktif dan potensial bagi narasi
besar bangsa ini tentang konsep kepemimpinan bangsa ke depan, yang
jangkauannya tidak hanya sebatas hingga Pemilu 2009 tapi beberapa dekade ke
depan. Minimal dapat membuahkan sebuah konsep regenerasi atau suksesi
kepemimpinan negara yang teratur dan bervisi – namun dengan lebih humanis
dan demokratis -- seperti yang diterapkan Lee Kuan Yew di Singapura. Sayang
realitas politik praktis negeri ini terlalu kejam memangsa buah ide brilian
dari anak bangsanya sendiri.

Namun di sisi lain, sebagai pemuda, kita layak mengevaluasi dan
berintrospeksi apakah kontrbusi pemuda dalam kepemimpinan bangsa (baca:
kepemimpinan pemuda) yang selama ini didengung-dengungkan – di mana
peristiwa Sumpah Pemuda secara kolektif dikenang sebagai tonggak historis –
merupakan mitos atau fakta. Sebagai komunitas atau bangsa, sesuai fungsinya,
kadang mitos memang diperlukan untuk membangkitkan semangat atau
membangkitkan kenangan heroik nan patriotik. Namun, mitos yang kelewat megah
juga acapkali membelenggu dan memanjakan para pengagum yang menganggapnya
sebagai hal yang *taken for granted*, diberikan begitu saja. Padahal
realitas keseharian kita membuktikan bahwa *no free lunch*, tidak ada hal
yang gratis alias diberikan begitu saja. Semua perlu ikhtiar dan tekad kuat.

Memang versi resmi rekaman sejarah nasional berbicara bahwa pada setiap
pergolakan kekuasaan di negeri ini kalangan muda selalu tampil terdepan.
Bahkan jauh sebelum 1928, pada tahun 1905, H. Samanhudi sebagai tokoh muda
pedagang batik dari Semarang tampil membangun SDI (Serikat Dagang Islam)
sebagai organisasi perjuangan melawan dominasi penjajahan. Tahun 1908, dr.
Soetomo dari STOVIA, sebuah sekolah dokter Jawa yang didirikan Belanda,
mendirikan Boedi Utomo. Gerakan-gerakan perjuangan kebangsaan tersebut
memuncak pada 1928 ketika berbagai *jong* atau *bond *pemuda dari berbagai
penjuru nusantara menyatukan tekad kebangsaan pada Kongres Pemuda II di
Jakarta.

Saat proklamasi 1945, Soekarno dkk yang berusia 45-an tahun bergerak
mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Tahun 1966, Soe Hoek Gie dkk gantian
menggulingkan rezim Orde Lama yang dipimpin Soekarno – tokoh pemuda yang
berubah menjadi tiran. Tahun 1974, Hariman Siregar dkk menggoyang dominasi
produk Jepang di Indonesia di bawah rezim Orde Baru pimpinan Soeharto. Tahun
1998, gerakan reformasi 1998 yang dimotori kalangan mahasiswa melengserkan
Soeharto -- seorang perwira muda berusia 46 tahun yang menggantikan Soekarno
sebagai presiden Republik Indonesia melalui Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) 1966 – dan menjelma menjadi diktator yang berkuasa selama 32
tahun. Selepas 1998 pun berbagai aksi demonstrasi – sebuah fakta yang kasat
mata – banyak dilakukan pemuda dalam hal ini kalangan mahasiswa dan
intelektual muda.

Apakah semua itu murni kontribusi pemuda? Tidakkah kelewat berat beban
sejarah tersebut dipanggul sendirian oleh kalangan muda sebagai satu
kalangan dari banyak elemen penyusun sebuah bangsa?

Maaf, jika terkesan terlalu skeptis. Seperti kata Rene Descartes, "*I think
therefore I am*." Untuk menemukan kebenaran, salah satunya, kita harus
mempertanyakan banyak hal secara kritis. Termasuk terhadap diri kita
sendiri.

Kahlil Gibran berkata, "Kita semuanya terpenjara, namun beberapa di antara
kita berada dalam sel berjendela. Dan beberapa lainnya dalam sel tanpa
jendela." Nah, haruskah kita terpenjara dalam berbagai dikotomi yang
menyekat kehidupan sosial bangsa seperti nasionalis-religius, tua-muda, atau
ortodoks-progresif?

*Siapakah pemuda?*

Ada tiga hal yang merupakan ciri pemuda: perubahan, semangat dan
kemandirian. Perubahan sarat dengan muatan visi, gagasan, kepedulian dan
harapan. John C. Maxwell berujar, "Orang tidak peduli seberapa banyak yang
Anda ketahui, hingga mereka tahu seberapa jauh Anda peduli." Dalam *The
Seven Habits for Highly Effective People*, Stephen R. Covey berpesan,
"Taburlah gagasan petiklah perbuatan; taburlah perbuatan petiklah kebiasaan;
taburlah kebiasaan petiklah karakter; taburlah karakter petiklah nasib."

Harapan, menurut Ary Ginanjar Agustian dalam bukunya berjudul *ESQ *(*Emotional
Spiritual Quotient*), 2005, adalah bahwa saat kita berjanji, sesungguhnya
kita menarik energi suara hati orang lain secara besar-besaran. Inilah yang
dinamakan harapan. Lalu energi itu kita bawa pulang, dan jika tidak kita
kembalikan ke sumbernya, keseimbangan orang lain akan terganggu. Harapan
(akan realisasi janji tersebut) telah kita tarik, dan belum kita kembalikan
(baca: janji belum terealisasi). Percayalah, setiap aksi akan menimbulkan
reaksi.

Sementara semangat mewakili aksioma optimisme dan proaktif. Menurut Stephen
R Covey, "Sikap proaktif sangat berguna bagi manusia terutama dalam
menghadapi rintangan maupun dalam berinteraksi dengan manusia lain. Sikap
proaktif menunjukkan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi." Lawan
proaktif adalah reaktif, lagi-lagi meminjam istilah Stephen R. Covey, "Reaktif
adalah sikap seseorang yang gagal membuat pilihan respon saat mendapat
rangsangan atau stimulus dari orang lain."

Dan kemandirian mewakili muatan kritisisme dan nalar. "Menerima ide-ide
tanpa berpikir merupakan virus yang meracuni kebutuhan manusia akan
pembebasan, berolah nalar, bertanya dan berimajinasi," ujar Milan Kundera.
Menurut sastrawan dan cendikiawan dunia ini, hal tersebut menelan individu
dalam kerumunan kolektif. Kebutuhan manusia akan individualitas, prinsip dan
orisinalitas lenyap dalam komunalitas tanpa makna. Ya, komunalitas tanpa
makna inilah yang saat ini, dalam konteks lokal, dalam salah satu bentuknya
menjelma dalam demonstrasi atau tawuran brutal.

Dalam 80 tahun (1908-2008) kontribusi pemuda dalam kepemimpinan bangsa,
hukum besi semesta tersebut telah terbukti dalam berbagai bentuknya.

Namun, ada sebuah pertanyaan besar lain: apakah *pemuda *lebih merupakan
kata sifat atau kata benda? Perhatikan berbagai fakta sejarah tersebut di
atas. Sebagai kata sifat, ia tak butuh rupa fisik yang gagah. Sepanjang ia
memiliki semangat dan visi perubahan, ia adalah *pemuda*. Meskipun seorang
gaek sekalipun seperti Abdurrahman Wahid yang berusia 68 tahun. Sebagai kata
benda, ia memang harus muda, cergas dan lincah selayaknya Barack Obama. Tapi
banyak orang-orang muda gagah, berusia belia yang pemikirannya hanya
mengkopi ide-ide lama bahkan anti perubahan. Apakah mereka layak disebut *
pemuda* dalam artian sebenarnya?

Singkatnya, secara ideal, pemuda adalah kata sifat dan kata benda. Seorang
pemuda selain berusia muda (di bawah 50 tahun) juga memiliki visi perubahan
(ke arah yang lebih baik) dan memiliki semangat antusiasme yang besar.
Demikian juga soal *hikmatus syukhuh*, kebijaksanaan, yang erat
diasosiasikan dengan *privilege* kalangan tua—bahkan terkesan
dilegitimasikan dengan RUU Mahkamah Agung (MA) yang memperpanjang usia
pensiun hakim agung hingga usia 70 tahun – adalah hal yang juga lebih
merupakan kata sifat. Seorang pemuda, dengan intensitas dan interaksinya,
dapat memiliki kebijaksanaan tersebut dalam satu wujud. Tak perlu harus
dalam satu paket tua-muda seperti pola pencalonan kandidat presiden dan
wakil presiden di Amerika Serikat yang terkesan melestarikan dikotomi abadi
tersebut.

Jika ada standar saklek, itulah perubahan. Pemuda adalah perubahan. Itu
harga mati. Soekarno muda pada 1945 – tatkala usia 45 tahun--adalah seorang
pendobrak. Tapi ketika ia tak mau berubah, ia menjadi tiran, dan menua.
Soeharto muda mendobrak ekonomi bangsa selepas 1966 dengan konsep
pembangunan Repelita terencana. Tapi ketika ia tak mau berubah baik karena
alasan kroni atau korupsi, ia anti perubahan, ia menua. Lagi-lagi pemuda
adalah perubahan. Demikian hukum semesta yang berlaku pada kalangan
pergerakan dari Akbar Tanjung dkk (1966), Hariman Siregar dkk maupun
kalangan aktivis pergerakan 98 dan angkatan-angkatan pemuda yang akan terus
bermunculan.

*Yang muda yang memimpin*

Dalam kutipan panjangnya, Ary Ginanjar Agustian mengatakan,"Manajemen adalah
mengerjakan segalanya secara benar (*do the things right*); kepemimpinan
adalah mengerjakan hal-hal yang benar (*do the right thing*). Manajemen
melakukan efisiensi dalam menaiki tangga keberhasilan; sedangkan
kepemimpinan adalah menentukan apakah tangganya bersandar pada dinding yang
benar."

Untuk menentukan keberhasilan sang peletak tangga, kita memerlukan sumber
komitmen. Di level korporasi, Kouzes dan Postner (*Leadership Challenge*,
2002) mengatakan bahwa sumber komitmen yang tinggi bukanlah pada kokohnya *core
values* perusahaan tetapi lebih kepada *personal values* (nilai-nilai
pribadi) karyawan yang kokoh. Karena justru nilai pribadilah yang
sesungguhnya lebih tercermin dalam praktik kerja sehari-hari, bukan nilai
perusahaan. Inilah yang disebut *spiritual capital, *modal spiritual. Hal
ini dapat diproyeksikan dalam skup yang lebih luas yakni bangsa. Kita perlu
lapisan (baca: bukan hanya seorang tokoh atau pemimpin tunggal) pemimpin
yang berkomitmen berdasarkan modal spiritual.

Dalam konteks anatomi sejarah peradaban, kepemimpinan pemuda adalah hal yang
alamiah, fitrah. Di usia tua, seseorang cenderung lebih banyak berpikir dan
akibatnya cenderung lebih ragu atau takut memulai untuk sesuatu yang baru.
Sementara pemuda, dengan kemudaannya dan semangat menyala, cenderung
bertindak.

Namun, dalam banyak riwayat perjalanan sejarah, kalangan tua terbukti banyak
menyokong kalangan muda. Ini artinya kepemimpinan muda bukanlah hal yang
kelewat istimewa atau megah, yang harus dipuja-puja dengan meninggalkan atau
bahkan menginjak kalangan tua. Ia hanyalah merupakan pergiliran alamiah.

Maka membincangkan kontribusi pemuda dalam kepemimpinan bangsa adalah
membincangkan suatu bangsa secara utuh, tak bisa terlepas dari kontribusi
elemen bangsa yang lain termasuk kalangan tua. Dalam teori *marketing*,
semua segmen sama, dan pemuda hanyalah merupakan satu segmen yang tingkat
urgensinya tergantung konteks. Jadi kepemimpinan pemuda adalah suatu fakta.
Tapi ia bukan pemuda *an-sich*. Ia adalah bagian elemen anak bangsa yang
tidak bisa berdiri sendiri. Dalam sebuah keluarga besar tak semua harus maju
terdepan. Tak lantas setiap orang muda membawa perubahan. Pemuda adalah kata
sifat dan kata benda, dan standarnya adalah perubahan. Sekalipun ia berusia
muda namun hanya membawa ide lama maka ia telah gagal sebagai
*pemuda*kendati mengusung bendera ormas pemuda dengan gegap-gempita.
Dan ia tak
layak sebagai pemegang estafet untuk menentukan ke arah mana tangga bangsa
akan disandarkan,

Seperti kata Isaac Newton, "*I could see farther because I was standing on
the giants' shoulders*." Jika para pemuda dapat memandang lebih jauh ke
depan, itu juga karena berpijak pada pengalaman dan kontribusi para raksasa
tua sebelumnya*. *Alangkah indahnya jika bangsa ini dapat menghapus segala
sekat dan dikotomi sosial yang ada dengan memerhatikan hukum besi semesta
dan sejarah bangsa yang merupakan *sunnatullah *bahwa adalah hak dan
kewajiban orang muda sebagai pemimpin dengan bimbingan kalangan yang lebih
tua sebagai pemandu. Jika demikian adanya, sebagai bangsa, kita *Insya Allah
* sangat yakin bahwa negeri ini pasti akan bangkit menjadi bangsa yang besar
sebagaimana sejarahnya di masa lampau. Percay